Mesin Waktu

"Thanks ya, Bar..." ucap Nadya seraya memberi senyuman manis ketika membuka pintu mobil. Sepertinya ia berharap lebih.

"It was a good time with you..." Nadya menatap Bara sekali lagi sebelum menutup pintu, disusul senyuman manis yang sama dan lambaian tangan.

"Sama-sama, Nad... See you" cuma itu kalimat yang keluar dari mulut Bara pada adegan penutupan kencan pertamanya bersama Nadya, adik angkatannya Rudy waktu kuliah dulu di Bandung. Rudy mengenalkan Nadya pada Bara 4 hari sebelumnya. Jadi, ini adalah kali kedua (dan mungkin terakhir) Nadya bertemu Bara.

Malam itu hujan turun tidak lama setelah Bara mengantar pulang Nadya. Sambil menyetir mobilnya, ia menatap ke arah pintu kiri, lalu pikirannya berkelana.

Entah sudah berapa kali pintu kiri mobilnya itu terbuka dan tertutup. Entah sudah berapa wanita yang duduk di kursi penumpang itu. Semuanya selalu berakhir seperti adegan Nadya barusan.

"Gimana Nadya, bro? Sukses?" Rudy sebagai Mak Comblang menelpon penasaran.

"Yaaaa gitu deh... gimana yah..." Bara mulai tidak jelas.

"Gitu deh gimana? Ngobrol nyambung kan? Dia doyan Coldplay juga sama kayak lu, gak mungkin dong gak ngobrolin Coldplay...?"

"Semua orang juga doyan Coldplay, Rud. Nyambung mah nyambung aja sih. Tapi gua gak tau, Rud"

"Gak tau gimana? Gak cocok lagi? Yaelah, Bar. Baru juga dua kali ketemu. Udah laaah... lanjutin dulu, bro"

"Gua gak tau, Rud. Udah ya... ngantuk ni gua"

"Kebiasaan... yaudah hati-hati lu di jalan. Weekend kita ngopi bareng ya. Nyobain warungnya si Udin. Belum pernah kan lu?"

"Oke atur aja. Berkabar. See you"

Bara melanjutkan perjalanan pulangnya ke Bogor. Pukul 00.25, mobil Bara melaju santai di lengangnya aspal tol Jagorawi, jalan tol termulus se-Indonesia. Semulus nasibnya Bara, namun tidak soal wanita.

Sudah 5 tahun semenjak Bara menyudahi hubungan cintanya dengan Rani. Selama itu juga sudah puluhan wanita datang dan pergi. Belum ada yang bisa mengerti Bara semengerti Rani. Bagi Bara, Rani adalah Benchmark, atau kalau lebih kasar lagi : Batas Kualifikasi. Bara mau yang lebih dari Rani, atau paling tidak, sama seperti Rani. Apanya? Cuma Bara dan Tuhan yang tahu.

Nadya tentu jauh lebih cantik dibanding Rani. Tapi gaya hidupnya yang menjurus ke arah jet-set membuat Bara berpikir ulang. Setidaknya itu kesan pertama yang tampak sejauh ini. Komputer di otak Bara mulai menghitung dan mengkomparasikan Nadya dengan database wanita-wanita yang pernah dekat dengannya. Tapi Rani masih di posisi utama. Entah wanita seperti apa yang dicari Bara sebenarnya. Mungkin Bara sendiri pun tidak mengetahuinya.


***


"Elu fix goblok! Nadya Alpina, kan? Itu keindahan, njir! Sini buat gua aja! bingung gua sama lu..." suara Udin menarik perhatian seluruh pelanggan di ruangan. Udin tidak peduli. Warung kopi ini punya dia. Udin hanya bingung sama temannya yang satu ini. 

"Atau jangan-jangan lu sekarang homo ya, Bar? Udah gak doyan cewek?" Udin kesal campur penasaran sedikit. Rudy yang duduk disampingnya tertawa sambil ikut penasaran sedikit.

"Bukan gitu Udin-ku sayang..." Bara langsung menimpali sambil berlagak bencong. Sambil menyesapi Kopi Susu buatan Udin, Bara melanjutkan pembelaannya, "Lu mungkin bakal bilang gua goblok, sotoy, atau apalah terserah lu."

"Gini... gua baru ketemu Nadya dua kali, Din. Sekali sama si Rudy ngobrol-ngobrol biasa. Yang kedua gua ajak jalan makan malem"

"Terus?"

"Gak gua banget, Din...."

"Anjirrr... ini Nadya lho... Maudy Ayunda KW super, Bar! Nih ya... LPDP Awardee, Studied Accounting & Finance at Manchester University, Associate Auditor at PwC. Fix gaji dua digit, gak usah kerja lu. Dan lu masih bilang, 'gak gua banget' ?!?" Udin mencoba memastikan sambil memeriksa profile Facebook Nadya via smartphone. Udin semakin kesal dan bingung dengan temannya yang satu ini. Bagaimana bisa, Bara tidak tertarik sama sekali dengan wanita multi-talent seperti Nadya. Sementara semua pria di dunia ini seakan-akan bersusah payah untuk mendapatkan wanita seperti Nadya.

"Tuh lu lihat sendiri kan, Din... gua paling gak suka orang sok-sok pamer pekerjaannya di media sosial. Fix ini cewek gak gua banget, Din..."

"Terus yang 'lu banget' tuh yang kayak gimanaaaa Kembara Putra Bumi yang paling ganteng se-Indonesia Rayaaaa???"

"Yang simpel-simpel aja lah, Din... Gua cuma mau hidup simpel, bersama orang yang simpel, kayak..."

Belum selesai Bara mengakhiri kalimat, Rudy yang sepertinya sudah tau kemana arah kalimat Bara, langsung memotong pembicaraan,

"Rani...?"

Bara hanya mengangguk kecil sambil membuang pandangannya keluar jendela. Sekelibat kenangannya bersama Rani mampir ke dalam pikirannya. Teringat saat Bara membonceng Rani dengan motor bebek bututnya setiap weekend. Menyusuri jalanan favorit mereka, Jl. Juanda, sebelum berhenti di Bogor Permai untuk menikmati siomay dan es sekoteng di bawah rindangnya pepohonan. 

"Bar, Rani tunangan minggu lalu. Denger-denger nikahnya tahun depan. Nyesel kan lu sekarang?" Rudy membuyarkan lamunan Bara.

"Ohya? Good then... she deserves what she deserves. Dan yang perlu lu pada catat: nothing to be regret, i am totally fine at all", kata Bara sambil membakar rokoknya yang kesekian.

Bara sudah mengira ini akan terjadi. Sudah lama Bara mempersiapkan diri untuk mendengar hal ini. Bara selalu bilang bahwa dirinya sudah melupakan Rani, tapi di dalam hatinya, jauh di dalam hatinya, Rani belum pernah ada gantinya.

"Lu tau gak Bar kenapa sampe sekarang lu susah berhubungan sama cewek?" kata Rudy melanjutkan pembicaraan.

Belum sempat Bara menjawab, Rudy melanjutkan kalimatnya,

"Lu tuh gak pernah serius..."

"Apaan sih lu, Rud... gak serius apa coba gua..." Bara tidak terima.

"Selama ini lu tuh gak pernah serius Bar gw perhatiin. Dari mulai Evi, Sarah, Sonya, Dewi sampe Nadya, lu gak pernah serius, Bar. Waktu sama Evi, lu berhubungan juga sama si Sarah. Akhirnya, dua-duanya ninggalin lu. Terus waktu Sonya cabut sekolah ke Sydney, lu malah berhenti kontak dia. Bukannya usaha lu samperin atau keep contact sama dia, eh malah lu approach orang lain, which is Dewi... yang akhirnya ninggalin lu juga karena keduluan dilamar orang..."
Rudy mengambil nafas sejenak, mematikan puntung rokoknya, kemudian melanjutkan penjelasannya kembali,

"Dan sekarang Nadya... alasan klasik 'gak gua banget', padahal lu baru ketemu 2 kali. Seakan-akan 2 kali ini udah mewakili Nadya semuanya..."

Bara kena skak mat. Bara ingin sekali mengajukan pembelaan tapi Bara sendiri bingung pembelaan atas apa. Semua yang Rudy ucapkan terasa benar sekali baginya. Bara bahkan baru menyadari bahwa selama ini dirinya memang tidak serius dalam menjalin hubungan.

"Lu tuh selalu setengah-setengah Bar kalo ngedeketin cewek. Gimana orang mau ngasih semua perhatian ke lu, kalo lu sendiri gak ngasih semua perhatian ke dia?" Rudy melanjutkan ceramahnya. Bara masih terdiam tapi seksama mendengarkan. Udin masih sibuk dengan gadgetnya.

"Dan ternyata hati lu masih nyangkut di Rani. Pasti lu ngebandingin Nadya sama Rani kan?"

Rani lagi...

Bara melamun. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Rani akan segera menikah. Sementara Bara masih mencari-cari perempuan seperti Rani. Bara mulai berpikir untuk kembali kepada Rani. Tapi peristiwa 5 tahun lalu membuatnya berpikir ulang kembali. Lagipula, Rani juga belum tentu mengharapkan Bara kembali.

Pertanyaan Rudy tidak dihiraukannya. Rudy hanya menghela nafas, seakan paham betul watak Bara yang sering tidak jelas itu. Sementara sedari tadi kedua temannya ngobrol, Udin hanya scrolling media sosial. Maklum, Udin perlu promosi warung kopi barunya ini secara sporadis ke segala penjuru.

"Really need a shoulder to cry on..." kata Udin memecah keheningan. 

"Hah? Maksud lu...?"

"Nadya barusan nge-tweet, Rud. 'Really need a shoulder to cry on...'. Bar! Nadya butuh bahu tuh... bahu lu kan agak luas... Yaaah agak dibersihin dikit lah... 5 tahun gak ada yang isi kan lumayan debunya... hahaha..." ejek Udin kepada Bara. Mereka semua tertawa.

"Bar, daripada keduluan orang lagi, mending lu terusin deh sama si Nadya. Timing-nya lagi pas banget. Jangan nyesel dan nyalah-nyalahin gua nanti kalo akhirnya Nadya diambil orang lain." kata Rudy mencoba mengingatkan Bara. Rudy tau kalau Bara sedih mendengar kabar Rani tunangan. Tapi Rudy juga tau kalau Bara tidak boleh larut dalam masa lalunya.

"Gua gak tau, Rud... Udah ah... gua cabut duluan ya. Din, thanks ya kopinya. Susunya pake yang lebih creamy, Din. Tapi better lah dari toko kopi sebelah...". Bara pamit. Lebih berkesan melarikan diri. Sementara yang lain hanya geleng-geleng saja memaklumi tingkah temannya yang satu itu. 

"Tuh kan... kebiasaan... Mau kemana lu?" tanya Rudy.

"Ada deh..." balas Bara tidak jelas.

Rudy dan Udin paham kalau Bara sedang butuh menyendiri. Kabar pertunangan Rani pasti mengacaukan konstelasi pikirannya. Kalau sudah begini, Rudy dan Udin pun tidak bisa apa-apa. 

***

Di tepi sebuah danau, Bara duduk termangu. Segelas kopi dan rokok menemaninya merenung. Sore itu matahari tampak terang menyinari punggung bukit-bukit yang mengelilingi danau. Tampak sekelompok bebek berenang tak peduli. Suasana seperti ini selalu membuat hati dan pikiran Bara lebih tenang. 'The best place to do nothing', menurut Bara. Bara bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berdiam diri di tepi danau ini. Entah untuk menenangkan diri, atau mencari inspirasi.

Dulu Rani pernah diajaknya ke tempat ini. Meskipun dengan susah payah, karena Rani harus beberapa kali turun dari motor bebek Bara yang tidak kuat nanjak. Tapi Rani senang diajak Bara jalan-jalan ke danau. Meskipun hanya duduk berdua sambil makan rujak dan membicarakan hal-hal bodoh. Bara tidak menyangka kalau anak orang kaya seperti Rani mau diajak jalan-jalan seperti itu. Hal-hal semacam ini yang membuat Bara semakin cinta kepada Rani pada waktu itu.

Tapi Bara datang ke sini untuk melupakan Rani. Rani akan dimiliki orang lain. Tidak akan ada lagi makan rujak berdua di tepi danau dan membicarakan hal-hal bodoh bersama Rani untuk selamanya. Yang harus dilakukan Bara saat ini adalah menghilangkan Rani dari pikirannya, dan berhenti menjadikan Rani sebagai benchmark untuk wanita lain. Bara harus memulai kembali.

Adzan ashar berkumandang. Bara bergegas ke mushola setempat. Di tengah jalan, Bara mulai memikirkan ceramah Rudy tadi siang. Bara setuju dengan Rudy bahwa selama ini dirinya selalu setengah-setengah dalam menjalin hubungan dengan wanita. Bara selalu takut untuk memberi perhatian lebih ke seseorang. Bara takut jatuh cinta terlalu dalam... dan berakhir seperti Rani. Bara tidak siap patah hati kembali.

Tingtong... sebuah pesan masuk ke hp Bara. Dari Rudy rupanya.

Bar, kalau mau ngisi gelas, kosongin dulu gelasnya...
Terus nuangnya pelan-pelan, jangan buru-buru... bisa tumpah kemana-mana nanti.

Bara berpikir sejenak sebelum memahami maksud dari pesan singkat Rudy tersebut. Lalu beberapa menit kemudian Bara membalas,

Iye iye Rud... gua coba...

Bara tersenyum membaca pesan temannya itu. Rudy memang paham betul apa yang sedang dirasakan Bara saat ini. Bara menunaikan sholat Ashar lalu berdoa memohon petunjuk dan ketenangan hati.

Sore semakin larut. Langit berubah jingga. Sinar matahari menyentuh permukaan danau. Pemandangan yang indah. Bara mengambil handphone nya lalu mengambil gambar. Gambar itu kemudian ia kirimkan kepada seseorang via Whatsapp,

Nad, kapan-kapan ke sini yuk!



(Bersambung gak yaaaaa?)


Komentar

GITA mengatakan…
Sambungkanlah bang! :D
Anonim mengatakan…
Bara gue versi cowok kayanya, bang.

Postingan populer dari blog ini

Iya po??

Natasa

Corona Love