Journey To The East (Cerita Perjalanan Backpacking Flores) - 4 Habis
Akhirnya... Setelah sekian lama nge-dokem di draft, akhirnya postingan ini bisa di-publish juga. Lunas sudah hutang piutang kita.
Semoga masih tetap antusias mengikuti ceritanya. Selamat mengikuti! :)
Sambungan dari :
Rabu, 2 Februari
2011
- - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - -
Leyeh –leyeh Day
Kira-kira jam 8 pagi
kita sudah packing barang-barang dan
bersiap untuk pindah tempat penginapan. Belakangan gw denger kabar kenapa si
pemilik penginapan gak mau nerima orang asing untuk bermalam di tempat mereka.
Masalah agama dan tingkah laku orang asing yg kadang-kadang bawa-bawa adat kebarat-baratannya
ke sini, contohnya making love di
penginapan dsb. Yah gak akan gw bahas panjang lebar lah masalah itu. Pokoknya
setelah menyelesaikan administrasi di penginapan sebelumnya, kita langsung
pindah ke penginapan selanjutnya yg mengijinkan orang asing untuk menginap.
Jaraknya gak jauh dari penginapan pertama. Penginapan ini rekomendasi dari
kenalan Luca saat bertemu di Bali. Harganya sesuai dengan yg kita mau lah, IDR 25000 per orang per malam, tapi jangan
berharap tinggi-tinggi, yg pasti bisa buat istirahat dan bersih-bersih.
Makan di warung Jawa dekat penginapan |
Hari
ini rencananya adalah hari leyeh-leyeh sedunia. Kita sisain 1 hari penuh buat
istirahatin badan, apalagi habis menempuh 18 jam perjalanan darat yg cukup
melelahkan antara Ende – Labuan Bajo. Aktivitas seharian diisi dengan
tidur-tiduran, makan dan jalan-jalan menyusuri sepanjang jalan Labuan Bajo.
Selain itu, kita juga mulai merencanakan apa yg akan kita lakukan besok
harinya. Rencananya kita akan ambil paket wisata Taman Nasional Komodo yang
disediakan oleh bermacam-macam travel
agent di sepanjang jalan Labuan Bajo. Sore itu kita habiskan untuk
menyusuri sepanjang jalan Labuan Bajo untuk survey paket wisata. Jujur kita
masih belum ada gambaran kegiatan apa aja yg bisa dinikmati dan tempat2 apa
saja yg bisa dikunjungi di kawasan Taman Nasional Komodo itu. Setelah survey ke
beberapa travel agen, barulah kita mulai ada gambaran rute-rute, tempat-tempat
dan kegiatan apa saja yg bisa dilakukan disana. Ada yg bisa dilakukan 1 hari (one day trip), ada yg 2 hari 1 malam,
dan lain-lain. Rata-rata harganya sama dari setiap agen. Akhirnya kita tertarik
dengan tawaran salah satu agen disana, mereka bilang butuh 10 orang dalam 1
perahu, sedangkan kami ber-tujuh. Ada 2 orang lain yg sedang mengantri juga.
Tinggal cari 1 orang penumpang lagi agar biaya paket semakin murah. Orang yang
ditunggu tak kunjung datang, kita belum menyetujui paket ini dan minta kepada
si pemilik agen untuk mengabari apabila sudah genap 10 orang. Kami pun berjalan
pulang ke penginapan...
Sore
hari di penginapan kami belum dapat kabar juga dari si pemilik agen. Akhirnya
Gw, Philip, Kicol dan Fuad memutuskan untuk nyari perahu nelayan di pelabuhan.
Setelah survey sana survey sini, bertemulah kita dengan Pak Zainuddin, nelayan
Bugis asli. Tawar boleh tawar ternyata kita tertarik dengan penawaran Pak
Zainuddin. Tapi kita perlu cancel
pesanan kita di agen yg sebelumnya. Setelah melakukan rapat kecil bersama Luca
dan Samia, akhirnya diputuskan kita memilih tawarannya Pak Zainuddin dan
membatalkan janji dengan pihak agen sebelumnya. Obrolan sore itu pun diakhiri
dengan kata sepakat sambil kita memberi uang DP untuk membeli bensin perahu
kepada Pak Zainuddin. “Besok pagi jam 7 ya di sini...”, begitu kiranya
kata-kata Pak Zainuddin setelah kami berpisah.
Nyari Perahu |
Selanjutnya
adalah membatalkan janji dengan agen yg sebelumnya itu saat kita sampai di
penginapan. Saat kita telpon orangnya dan memberitahukan pembatalan paket
tersebut, orang itu marah besar sambil membentak-bentak. Waduh, bahaya juga ini
jauh-jauh ke sini malah bikin masalah. Jelas dia merasa kesal karena diberi
harapan palsu oleh kita. Tapi kita juga tidak sepenuhnya salah, kita belum
sepakat betul dengan paket yg ditawarkan itu. Ya sudah, dengan segenap nyali
dan keinginan untuk tidak membuat masalah berkepanjangan, kita semua pergi
menuju tempat agen tersebut. Jujur sungguh mencekam suasana malam itu. Gimana
kalo kita semua dipukulin sama si agen dan anak buahnya? Ini kawasan mereka,
dan kita sudah membuat masalah dengan mereka. Dan perasaan dag-dig-dug
sepanjang perjalanan dari penginapan ke tempat agen travel itu pun berakhir
saat kita temui bahwa orang yang kita
cari-cari tidak ada di tempatnya, tokonya sudah tutup. Ya sudah, yang penting
kita sudah menunjukkan maksud yang baik untuk menyelesaikan masalah tidak hanya
lewat telepon.
Hari
itu pun kita tutup dengan perasaan lega dan mimpi ketemu Komodo...
Kamis, 3
Februari 2011
- - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - -
Pulau Rinca
Pagi sekitar jam 5.30
WIB kita sudah bangun dan bersiap-siap untuk mengeksplor Taman Nasional Komodo.
Karena kita akan meninggalkan Labuan Bajo selama 2 hari 1 malam, maka kita
harus siapin perbekalan selama di perahu. Luca dan Philip pergi ke pasar untuk
belanja bahan makanan. Sedangkan Gw dan Samia pergi ke tempat penyewaan
alat-alat snorkeling. Tentu kita akan snorkelingan di beberapa spot yang kita sendiri belum tahu.
Ternyata di TN Komodo juga terdapat beberapa spot untuk snorkeling dan berenang, gw pikir awalnya hanya jalan
treking menyusuri pulau dan mengamati komodo saja.
Sesuai dengan janji
sebelumnya, jam 7 kita sampai di pelabuhan untuk ketemu dengan Pak Zainuddin.
Beliau langsung memperkenalkan kami dengan anaknya, bernama Pak Bandi. Ternyata
yang akan menemani kita selama 2 hari ke depan adalah Pak Bandi ini sebagai
kapten perahu. Pak Bandi tidak sendiri, ia ditemani seorang lelaki tuna rungu
yang tidak dapat mendengar. Tapi jangan underestimate
dulu sama si bapak yg satu ini (duh, namanya gw bener2 lupa. Sebut aja dia Pak
Kenek), nanti bakal gw ceritain kenapa lu gak boleh underestimate sama dia.
Setelah mengangkut
semua perbekalan ke atas perahu, jam 7.30 tepat jangkar perahu diangkat. Pak
Kenek dengan sigap dan tanggap menerima kode-kode yang diberikan Pak Bandi sang
kapten. Perahu kami pun melaju meninggalkan Labuan Bajo.
Kita lalu
berbincang-bincang masalah rute dan lokasi-lokasi yang akan kita kunjungi
dengan Pak Bandi. Karena sebelumnya kita pernah mampir dan survey-survey di beberapa
agen travel, kita copy-lah rute yang
pernah ditawarkan mereka, lalu kita sampaikan ke Pak Bandi. Dengan beberapa
improvisasi dan saran dari Pak Bandi yang katanya sudah sering bawa orang asing
jalan-jalan TN Komodo, masalah rute perjalanan beres sudah.
Pemandangan sekitar Labuan Bajo |
Tujuan pertama adalah
Pulau Rinca. Cukup lama juga perjalanan dari Labuan Bajo menuju gerbang Pulau
Rinca ini. Tapi semua itu tidak terasa karena selama perjalanan kita disuguhi
lansekap cantik nan indah bukit-bukit ber-savana di sekeliling kita. Sejauh ini
cuaca pun cukup mendukung, padahal seharusnya masih musim angin barat.
Sekitar jam 10.30
kita sudah sampai di Loh Buaya, salah satu dermaga dan gerbang masuk wisata di
pulau Rinca. Dari gerbang kita masih harus berjalan kaki sekitar 5 menit menuju
pos jaga dan pemeriksaan. Belum beres mengurus administrasi di pos jaga dan
pemeriksaan, aktor utama yang selama ini kita cari-cari ternyata lagi
leyeh-leyeh di bawah pohon. Kata pemandu yang mendampingi perjalanan trekking kita selama di P. Rinca, kalau
siang-siang begini kebanyakan komodo mencari tempat teduh untuk ‘ngadem’.
Philip dan Ucup langsung ambil kamera dan mulai mengambil gambar. Beberapa
komodo ada yang sedang santai di bawah rumah panggung, ada juga yang sedang
santai di bawah pohon.
Di depan Loh Buaya |
Menuju pos jaga |
Komodo leyeh-leyeh di bawah pondokan |
Menurut kabar dan
cerita yang gw dengar selama ini, populasi komodo di pulau Rinca lebih banyak
di dari pulau Komodo. Jadi kemungkinan untuk bertemu dengan komodo di pulau
Rinca ini cukup besar. Ditemani dengan seorang pemandu bertongkat yang konon
katanya semua komodo bakalan takluk dengan tongkat berbentuk huruf Y tersebut,
kita memulai perjalanan trekking menyusuri pulau Rinca. Kita ambil jalur
trekking dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam, sementara masih ada jalur
trekking lainnya yang ditawarkan dengan waktu tempuh yang bervariasi dan harga
yang bervariasi pula. Tapi variasi tersebut tidak ada hubungannya dengan
kemungkinan untuk bertemu komodo di perjalanan. Sungguh sangat random, apalagi saat siang bolong begini,
waktu dimana komodo bersantai di tempat teduh.
Kerbau gede banget! |
Selama trekking,
beberapa satwa seperti kerbau dan monyet lumayan sering kita temui. Si komodo
yang kita cari-cari malahan gak ada yang muncul setelah hampir setengah
perjalanan kita tempuh. Agak kecewa sebenarnya, ditambah panas terik matahari
yang membuat kerongkongan ini kering dan ingin cepat-cepat menyelesaikan
perjalanan trekking. Untunglah
indahnya pemandangan selama perjalanan cukup membuat adem hati ini. Paduan
antara langit biru, padang savana dan perbukitan, ditambah laut membentang. Cukup
untuk meneduhkan panas terik matahari waktu itu.
Di tengah perjalanan trekking, akhirnya kita bertemu juga
dengan beberapa ekor komodo yang sedang berteduh di balik batu dan pohon. Gw
mencoba untuk melihat dan mengamati lebih dekat, tentunya setelah izin dari pak
pemandu. Air liur komodo ini konon adalah senjata utama dari satwa purba
endemik ini. Sekali kena, bakteri-bakteri yang terdapat pada air liur itu akan
meracuni dan membuat lumpuh si korban. Setelah itu, tinggal dikunyah deh.
Kuliah lapangan dari bapak Ranger |
Pemandangan selama trekking di Pulau Rinca |
Suasana Pulau Rinca |
Itu dia! |
Pak Kenek |
Setelah puas 2 jam trekking di Pulau Rinca, kita langsung
bergegas naik ke perahu untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi berikutnya.
Ternyata oh ternyata, saat kita menaiki perahu, makan siang untuk kita sudah
tersaji saat itu. Padahal rencananya Luca yang akan memasak untuk makan siang
kita hari itu. Tanpa kata dan hanya isyarat tangan, Pak Kenek langsung
mempersilahkan kami untuk menyantap makan saing kami tersebut. Tanpa basa-basi,
seluruh masakan langsung kita lahap dalam sekejap. Wah, entah karena faktor
lapar atau gimana, makan siang waktu itu rasanya enak sekali. Tiba-tiba Pak
Bandi nyeletuk , “Itu yang masak semua
Pak Kenek... Memang jagonya dia...” . Kita semua langsung nengok ke arah
Pak Kenek. Pak Kenek cuma menanggapi dengan jempol nya ke arah kita semua.
Woaaah...kita semua langsung terkagum-kagum dengan bapak yang satu ini.
Perahu pun melaju dan
15 menit kemudian Pak Bandi menghentikan lajunya di tengah laut sambil memasang
jangkar. “Disini terumbu karangnya
lumayan bagus...”, begitu dia bilang. Tidak sanggup menahan untuk tidak
menceburkan diri ke air, kami semua langsung nyemplung gak karuan. Terumbu
karangnya memang bagus-bagus dan masih asri. Untunglah Ucup baru saja beli
kamera baru yang bisa dibawa underwater,
jadi semua pemandangan dibawah laut bisa diabadikan.
Siap-siap nyemplung |
Lumayan... |
Sekitar 1 jam 15
menit kita habiskan waktu untuk ber-snorkling
ria dan berjemur sebelum akhirnya perahu Pak Bandi melaju kembali menuju tujuan
berikutnya...
Lukisan Tuhan dan Planetarium Pribadi
Jam di tangan
menunjukkan pukul 16.45 WIB alias 17.45 WITA, sedangkan Pak Kenek seperti biasa
melemparkan jangkar ke lautan dan perahu berhenti entah dimana, yang pasti di
bawah langit dan di antara lautan lepas. Di kejauhan tampak daratan memanjang
membentuk teluk yang belakangan kita tahu bahwa itu adalah perkampungan suku
Komodo. Sekitar 30 meter dari perahu kami berhenti tampak sebuah pulau kecil
penuh ditumbuhi bakau. Kata Pak Bandi namanya Pulau Kalong atau Pulau
Kelelawar. Semua kelelawar kalau siang hari beristirahat di dalam sana katanya.
Ucup & Kicol |
“Di sini sudah kita bermalam..”, begitu kata Pak Bandi sang
kapten. Ya, malam kita ini kita bermalam di atas perahu karena memang tidak ada
penginapan di sekitar sini. Kalaupun ada, kemungkinan besar cottage dengan harga yang kami semua tak
akan mampu membayarnya di Pulau Komodo sana. Ya, kurang lebih 1 kilometer dari
tempat perahu kita berhenti, adalah perkampungan pulau Komodo. Ternyata tanpa
kita sadari di sekitar perahu kita juga ada 2-3 perahu sewaan lain yang juga
mengangkut wisatawan semacam kami. Tanpa kita sadari juga, tiba-tiba ada
beberapa orang yang menjajakan cinderamata hasil kerajinan tangan pulau Komodo
di sekitar kami. Mereka mendayung sampan kecil dari perkampungan pulau Komodo
sana untuk menjual hasil kerajinan tangan semacam ukiran kayu, kalung dan
gelang-gelang. Karena harganya tidak cukup di dompet, maka kami Cuma
lihat-lihat dan tanya-tanya saja sama mereka.
Sore itu kita
habiskan waktu dengan berbincang-bincang hangat sambil menanti matahari
terbenam di anjungan perahu. Entah apa topik obrolan waktu itu, tapi kehangatan
suasananya masih teringat dan membekas sampai sekarang. Tiba-tiba Luca pergi ke
dapur sebentar dan beberapa saat kemudian kembali membawa beberapa gelas,
sebotol minuman bersoda dan sebotol Sopi yang dia beli 2 hari lalu di Aimere.
Tanpa es batu, dia mencampurnya menurut feeling
dan pengalaman selama menjadi juru masak di Spanyol sana. Di sela-sela obrolan
yang kian menghangat Luca menyuguhkannya kepada kami semua. Sambil menikmati
Sopi, matahari tampaknya sudah semakin mendekati batas cakrawala, membuat
langit menjadi kian merona dengan semburat-semburat jingganya. Kemudian,
sedkiti demi sedikit kelelawar beterbangan mulai mencari mangsa dan menambah
dramatis suasana kala itu. Kami semua diam menikmati sambil berdecak kagum
mengagumi lukisan Tuhan ini yang jarang bisa ditemui di tengah-tengah kota.
Lengkap sudah. Heningnya sore dan rona jingga di langit timur, dihiasi kepakkan
sayap kelelawar dan suaranya yang dramatis, ditemani sahabat-sahabat baik
sambil menikmati segelas Sopi tawa hangat bahagia. Bagi gw pribadi, gw
merasakan ‘orgasme’ mendalam yang membuat gw sungguh-sungguh bersyukur dapat merasakan
secuil suasana ‘surga’ ini. Namun sayang sejuta kali sayang...semua ini akan
lebih terasa sempurna apabila orang yang paling kita dambakan ada disamping
kita dan berbagi kesan bersama diantara indahnya keajaiban Tuhan ini.
Perahu lain dan turisnya |
Pak Bandi "The Captain" dan Senja |
Ditambah segelas sopi dan perbincangan sunyi kepada Tuhan |
Kalong-kalong mulai beraksi |
Sore itu perlahan
berganti malam. Diantara itu, gw habiskan dengan bernyanyi sekencang-kencangnya
sambil telentang menatap langit telanjang ditemani seperempat gelas sopi sisa
kehangatan sore tadi. Bernyanyi sambil berharap lebih tepatnya. Berharap andai
suatu saat nanti masih bisa diberi kesempatan untuk menikmati keindahan ini
bersama dengan sang pujaan hati...uuuh...periih rasanya harapan ini.
Namun dibalik perihnya
harapan itu, Tuhan selalu mengerti dan selalu baik kepada para daydreamer kayak gue. Malam itu langit
ditaburi milyaran bintang gemintang. Banyak sekali, sampai sebanyak yang tak
pernah dirimu kira. Banyak sekali, sampai mungkin galaksi bima sakti pun
terlihat. Dan semuanya tersaji langsung, live,
direct atau apapun lah itu
dihadapanmu. Bayangkan! Kalau pernah pergi ke Planetarium di Taman Ismail
Marzuki sana, kira-kira hampir mirip, tapi jelas ini lebih bagus. Surrounded by the sound of the sea and the
silence of the night. Bayangkan! Kurang baik apa Tuhan mu?
Malam semakin larut.
Kita semua berkumpul di dek kapal sambil menyantap makan malam. Sehabis makan
malam, diterangi lampu petromaks kami semua berbincang-bincang. Kali ini
perbincangan lebih intim. Kita semua saling mengungkapkan pendapat dan kesan
terhadap satu sama lain, terutama teman kita yang dari jauh, Luca dan Samia.
Tidak lama setelah itu, kita semua memutuskan untuk beristirahat dan menyiapkan
diri untuk trekking besok pagi.
Masing-masing bergumul dengan sleeping
bag-nya, sementara gw masih ingin menikmati lautan bintang di atas sana.
Angin berhembus lembut. Air laut beriak pelan. Tanpa suara. Nyanyian alam tanpa
suara, mengiringi peristirahatan kami malam itu.
Jumat, 4
Februari 2011
- - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - -
Pulau Komodo
Jam 06.30 WITA kami
semua sudah terbangun. Rupanya sudah tersaji sarapan di atas dek kapal. Siapa
lagi kalau bukan Pak Kenek yang
menyiapkan. Terima kasih, Pak Kenek! Kalau anda wanita, mungkin sudah saya jadikan
istri! Tanpa pikir panjang, kami semua langsung menyantap roti panggang itu,
sambil Pak Bandi mulai menyalakan mesin perahu dan mengarahkan perahu ke arah
tujuan selanjutnya, Pulau Komodo.
Sekitar 15 menit kami
perahu kami sudah sampai di gerbang masuk wisata Pulau Komodo, Loh Liang.
Ternyata lokasi kita menginap semalam dan Loh Liang tidaklah jauh. Tidak lama
setelah itu kami semua sudah beres mengurusi masalah administrasi dan mengambil
paket trekking dengan waktu tempuh
kira-kira 2 jam. Sama halnya seperti di Pulau Rinca, selama trekking kita akan dipandu oleh seorang ranger dengan tongkat sakti nya. Dan trekking pun dimulai...
Bikin kenang-kenangan dulu |
Kami sudah tidak
berharap banyak di Pulau Komodo ini, karena dari informasi yang didapat di
internet sebelum berangkat, populasi komodo disini lebih sedikit dari pulau
Rinca. Artinya kemungkinan untuk bertemu dengan komodo pun lebih sedikit. Tapi
kami sempat dikagetkan. Baru beberapa menit jalan, kurang lebih 15 menit kami
sudah bertemu 2 ekor komodo besar yang entah sedang merenung atau sedang apa.
Langsung deh kita dekati dan amati. Komodo ini rupanya tidak banyak gerak dan
amat malas. Mungkin lagi gak nafsu makan, tapi kita tetap harus waspada.
Nyari apa, bro? |
Males banget |
Tumben jalan-jalan |
Setelah beberapa
menit mengamati 2 ekor komodo ini, trekking
pun kami lanjutkan kembali. Semenjak itu, kita tidak pernah bertemu komodo
kembali L. Kami tidak benar-benar bersedih,
karena kami sudah mempersiapkan ini sebelumnya. Jadi, tidak terlalu termakan
ekspektasi yang berlebihan. Trekking
kami di pulau Komodo diakhiri di bukit bernama shulpurhea hill. Ini merupakan salah satu titik yang paling tinggi
di pulau Komodo, sehingga dari sini kita bisa melihat seluruh pemandangan pulau
sampai ke lautan. Sebenanrnya kegiatan utama disini menurut bapak ranger adalah bird wathcing alias mengamati burung.
Sulphurea Hill |
Pink Beach
Setelah 2 jam trekking di pulau Komodo, perjalanan
kita lanjutkan ke Pink Beach. Sekitar
30 menit perjalanan perahu dari pulau Komodo, kita sudah sampai di Pink Beach yang dimaksud itu. Sebuah
pulaiu kecil ditengah laut namun pasirnya berwarna merah jambu. Tidak semuanya
berwarna merah jambu sih, namun kalau dilihat dari kejauhan warnanya memang
terlihat seperti merah jambu. Konon akibat campuran serpihan karang dan
cangkang2 makhluk laut yang memang warnanya merah jambu. Perahu berhenti
sekitar 20 meter dari bibir pantai. Setelah Pak Kenek menurunkan jangkar, kita
semua langsung menceburkan diri ke dalam air. Cessss.... siang bolong begini
paling enak memang berenang di laut. Terumbu karangnya pun ternyata
bagus-bagus! Kita berenang menuju pantai dan melihat dengan dekat pasir
berwarna merah jambu itu. Siang itu sangat terik, tapi justru membuat
pemandangan di sekitar menjadi lebih indah dan tentunya pasir pantainya
terlihat lebih merah jambu.
Kicol Jump |
Pemandangan bawah lautnya |
Warnanya merah jambu, kan? |
Tertahan Arus
Setelah puas bermain
di pantai, kami pun bergegas untuk kembali berenang ke perahu untuk istirahat
dan melanjutkan perjalanan. Awalnya kita berenang biasa saja, namun setelah
setengah perjalanan kita semua merasa kalau kita seperti berenang di tempat
alias gak maju-maju. Kaki sudah di kayuh sekuat tenaga tapi perahu pun tak
kunjung mendekat. Kenapa ini? Ternyata waktu itu mungkin sedang pergantian
pasang surut air laut dan posisi kami berenang merupakan selat diantara 2 pulau
kecil, dan perahu kita parkir di antaranya. Sadar akan arus yang semakin
kencang dan tidak kuat lagi untuk melawan, Fuad langsung keluar permukaan dan
berteriak minta tolong ke Pak Bandi dan Luca yang sejak tadi sudah berada di
perahu. Untunglah Pak Bandi sigap menanggapi teriakan Fuad dan langsung
menjalankan mesin perahu untuk menyambut kami.
Sebelum kejadian |
Sungguh pengalaman
yang cukup mencekam pada waktu itu, di kepala ini sudah terbayang-bayang kalau
kita semua terbawa arus dan terhempas ke lautan lepas, berputar-putar di pusaran
air dan habis dimakan hiu. Uh, gak sanggup lagi ngebayangin kejadian
selanjutnya. Pulang ke kampung halaman tinggal nama dalam berita... naudzubillah..
Sesampainya di
perahu, kami semua langsung mengucapkan syukur dan saling mengungkapkan
perasaan. Pak Bandi dari awal memang sudah wanti-wanti kalau disekitar sini
arusnya sangat deras makanya jangan berenang jauh-jauh. Untunglah kita masih
bisa terselamatkan. Untuk menghibur diri dari kejadian tersebut dan
mengembalikan mood karena perjalanan
kedepan masih panjang, Pak Kenek diam-diam sudah menyiapkan makanan untuk makan
malam. Sengaja dimasak sekarang karena susah masak kalau hari gelap nanti.
Berhubung energi terkuras habis buat berenang melawan arus (padahal sudah pakai
fin), semua makanan tersebut langsung
kita santap habis. Sambil kita semua makan dan perahu melaju ke lokasi bermalam
kita, Pak Kenek berusaha menceritakan sesuatu kepada gw dan teman-teman. Dengan
isyarat tangan dan ekspresi muka, kami semua mengerti kalau Pak Kenek sedang
memeragakan gerakan menyelam, atau dirinya adalah seorang penyelam. Pak Bandi
pun langsung nyeletuk dan membantu menjelaskan, “Dia itu dulu penyelam paling hebat, gakusah pake kacamata (google) atau
kaki katak sudah bisa sampe sedalam 10 meter...”. Ini makanya gw bilang di
awal kalau kita gak boleh underestimate
sama orang ini. Seperti yang guru-guru pernah bilang, “Tidak ada yang sempurna di duia ini, selalu ada kelebihan dibalik
setiap kekuarangan dan sebaliknya. Tuhan Maha Adil”. Yah kira-kira
begitulah... Hari itu Pak Kenek sedikit mengetuk hati kecil kami, khususnya gw.
Gw melamun menatapi lautan biru sambil perahu yang kami semua tumpangi terus
melaju.
Bersantai di perahu |
Pulau Bidadari
Ini mungkin destinasi
terakhir kami dari serangkaian perjalanan bersama Kapten Bandi dan rekannya Pak
Kenek di atas perahu pesiar KM Cinta Damai. Pulau Bidadari namanya. Jaraknya
kurang lebih 2 jam perjalanan perahu dari Pink
Beach atau 1 jam dari Labuan Bajo. Jadi ini memang destinasi terakhir kami
sebelum pulang menuju Labuan Bajo dan kembali ke tanah Jawa. Pulaunya kecil
tidak berpenghuni, tapi ada sebuah cottage
kecil didalamnya. Pak Bandi memarkirkan perahu seperti biasa, 20 meter dari
bibir pantai pulau. Disini bukan spot untuk
snorkeling sebenarnya, tapi kita nyemplung aja dan berenang ke arah Pulau
Bidadari. Mainan pasir kayak anak kecil dan manjat tebing. Entah mengapa saat
itu di hati ini sudah terasa rindu untuk pulang. Sudah hampir 2 minggu gw dan
teman-teman pergi jauh ke timur untuk balas dendam dengan rutinitas selama di
kampus. Boleh di bilang ini merupakan titik balik perjalanan kami. Rasanya
seperti, it’s time to go home, dude...
Sambil perahu kami bergegas menuju Labuan Bajo.
Ngasih makan ikan |
Pemandangan bawah lautnya ^_^ |
Ikannya banyak ^_^ |
Philip di atas tebing Pulau Bidadari |
Farewell
Sore hari menjelang
magrib kami semua sudah sampai di Labuan Bajo. Setelah unloading semua barang dan menyelesaikan administrasi dengan Pak
Bandi, kami semua mengucapkan salam perpisahan dengan Sang Kapten dan
Asistennya yang hebat itu. Sekali lagi, tanpa mereka, perjalanan ini takkan
sama indahnya. Kita pun dengan malas kembali ke penginapan semula, karena
energi sudah habis untuk berkegiatan seharian.
Sore sampai malam
tiba kita habiskan dengan kegiatan biasa. Istirahat, makan, dan ngobrol
mendominasi. Kita juga sempat jalan-jalan sebentar untuk mencari
kenang-kenangan dan cinderamata. Sampai akhirnya saat malam menjelang tidur
kami semua berkumpul di balkon penginapan. Luca mentraktir kami semua beberapa
botol bir karena besok kita akan berpisah. Lagi-lagi kami berbincang apa saja.
Mulai tentang sejarah Indonesia, sampai ke mimpi-mimpi (atau lebih tepatnya
khayalan) kita ke depan. Sempat kita berkhayal suatu saat kita akan pergi
mampir ke Ibiza, Spain untuk silaturahmi dengan Luca dan Samia disana. Atau
membicarakan tentang Pulau Bidadari dan cottage-nya
yang mungil. “Mungkin saja kita bangun
rumah makan disana. Kamu yang desain, Philip! Kamu kan calon arsitek.”,
kata Luca. Yah, pokoknya macam-macam sampai akhirnya kita capek sendiri dan
beranjak ke tempat tidur masing-masing. Sebelum tidur, kita sempat saling
berpelukan dan berpamitan ke Luca dan Samia, takut besok mereka belum bangun
karena kapal ferry kita besok akan berangkat pagi sekali.
Sabtu, 5
Februari 2011
- - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - -
Kicol yang Malang
Kira-kira jam 4 subuh
waktu Indonesia Tengah kita sudah bangun dan langsung bersiap-siap berangkat.
Mungkin karena mendengar kegaduhan kami, Luca dan Samia memaksa diri bangun
dari lelapnya hanya untuk menyampaikan salam perpisahan sekali lagi kepada kami.
Luca juga memberikan gw sepotong sweater
dan syal sebagai kado ulang tahun. Terimakasih, Luca dan Samia. Semoga kita
bisa bertemu kembali. Setelah itu, kita langsung bergegas berangkat menuju
pelabuhan kapal ferry. Disana sudah menunggu agen yang mengurusi tiket
perjalanan kami. Jadi, kemarin sore kita sudah memesan tiket bis Langsung Indah
tujuan Denpasar, Bali. Kita sih belinya tiket bis, tapi bis aslinya itu naiknya
masih nanti di Bima sana. Jadi kita bakal naik kapal ferry dulu, lalu di
pelabuhan Sape kita akan dijemput oleh mobil elf untuk diantar ke kota Bima.
Barulah di Bima nanti sudah menunggu bis Langsung Indah yang akan mengantar
kita sampai Denpasar. Tapi itu semua sudah termasuk dalam 1 paket, jadi kita
langsung membayar sejumlah uang di awal kepada pihak agen untuk semua moda
transportasi yang udah gw sebutin barusan.
Pokoknya hari itu
bisa dibilang full untuk perjalanan.
Pagi harinya kita naik kapal ferry dari Labuan Bajo sampai pelabuhan Sape Pulau
Sumbawa. Disana kita dijemput oleh semacam bis ¾ untuk menuju kota Bima. Dari
pelabuhan Sape menuju kota Bima kita harus menempuh jalan yang berkelok-kelok
dan naik-turun bukit. Mungkin ini alasannya kita tidak nai bis besar dari
pelabuhan Sape sampai kota Bima. Selain jalannya cukup sempit, tikungannya pun
juga cukup tajam, dan gw rasa bis besar dengan bodi yang panjang pastinya
bakalan agak sulit untuk melewati rute ini. Namun sepanjang perjalanan Sape ke
Bima, kita disuguhi pemandangan alam yang masih asri dan indah. Hutan-hutan
hijau, sawah-sawah dan perbukitan mendominasi. Akhirnya kesampaian juga
menikmati perjalanan barat melewati Nusa Tenggara Barat ini.
Tahan...tahan... |
Ada kejadian lucu
waktu itu. Mungkin karena bis kita menggunakan AC alam dan udara sangat dingin
waktu itu. Kicol tidak tahan untuk buang air besar. Apalagi dia duduk di dekat
pintu belakang dimana tempat masuknya angin ke dalam bis. 15 menit pertama dia
masih bisa menahan dengan kekuatannya. Namun 15 menit berikutnya dia mulai
panik karena sakit perutnya tidak kunjung hilang. Kami pun ikut panik.
Masalahnya sepanjang perjalanan dari Sape kita tidak pernah melihat Pom Bensin
atau rest area. Lagipula dari kita
semua gak ada yang berani menghentikan Pak Sopir yang sedang ngebut melaju.
Keringat mulai bercucuran di wajah Kicol. ”Duh,
bagaimana ini?”, Kicol semakin panik. Kicol terkenal sebagai seorang yang
sangat ceria, dan itu pertama kalinya gw liat muka Kicol kusut sekusut kusutnya
akibat nahan sakit perut dan panik gak tau mau dibuang dimana. Hahahahaha...
Lucu bercampur kasian sebenarnya. Akhirnya setelah menahan cukup lama, suatu
tindakan harus diambil karena sakit perut Kicol tidak kunjung reda juga.
Melihat seluruh penumpang di bisa sudah tertidur pulas semua, dan kita ber 5
kebetulan menguasai tempat duduk baris belakang di bis, Kicol memutuskan untuk
buang ‘hajat’ keluar bis! Gimana caranya? Pernah liat pintu belakang bis, kan?
Ada semacam tangga kecilnya gitu. Nah, Kicol jongkok di pintu belakang bis
menghadap ke dalam bisa sambil pegangan dan berpijak di tangga kecil tersebut,
tentunya dengan posisi siap untuk meluncurkan (maaf) ‘hajat’-nya. Kita semua
Cuma bisa ngakak sejadi-jadinya melihat kelakuan Kicol. Awalnya rencana
berjalan mulus. ‘Hajat’ yang dibuang Kicol semua lolos keluar bis. Namun
tiba-tiba bis melakukan manuver kelokan yang lumayan agak tajam. Seketika Kicol
tidak dapat mengontrol posisi ‘buangannya’, alhasil kotorannya (maaf sekali
lagi) sedikit berceceran di gerbang masuk pintu belakang bis itu.
Huahahahaha.... Melihat itu semua, teman-teman yang lain langsung menutup mata
dan berpaling jijik. “Nih pake nih,col!
Lu buang sekalian aja...”, seru Fuad sambil melemparkan handuk kecilnya ke
arah Kicol. Handuk kecil itu dipakai Kicol untuk membersihkan kotoran akibat
ulahnya. Selesai buang ‘hajat’ dan cebok ala kadarnya menggunakan handuk kecil
dan tissue basah, langkah selanjutnya adalah menebar wewangian di dalam bis
untuk menghilangkan jejak. Setelah itu, kami semua kembali ke posisi
masing-masing dan berjanji untuk saling mengingatkan kalau nanti keluar dari
bis, harus lewat pintu depan! Meskipun kita duduk di baris belakang.
Hahahaha...
Kicol harus
mengorbankan sepotong celana dalam terakhrinya itu dan rasa malunya hanya untuk
membuang ‘hajat’. Lucu juga kalau diingat-ingat kejadian waktu itu. Apalagi
ekspresi raut muka Kicol yang panik sejadi-jadinya. Sudah tidak peduli lagi ada
orang lain di pinggir jalan yang melihat dia buang air di pintu bis, toh bisnya
melaju kencang sekali. Hihihihi...
Kira-kira jam 3 sore
kita sudah sampai di Terminal Dara kota Bima. Disana kita harus menunggu lagi
bis Langsung Indah yang dimaksud, kurang lebih setengah jam. Saat bisnya
datang, kita pun langsung menngangkut barang dan siap-siap untuk beristirahat nyenyak
karena ada AC-nya. Malang untuk Kicol yang
harus menahan dingin gara-gara gak pake celana dalam...hihihi... Malam
itu bis akan menyusuri sepanjang pulau Sumbawa untuk menuju ujung baratnya ,
yaitu pelabuhan Poto Tano.
Bis Langsung Indah |
Minggu, 6
Februari 2011
- - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - -
Sweater dan
Wanita Malang
Pagi harinya bis
sudah bersiap untuk menyebrang ke Pulau Lombok dari Pulau Sumbawa. Gunung
Rinjani menyambut kami. Kapan ya bisa memijakkan kaki di atas pasirnya? Gunung
Rinjani merupakan salah satu dream-list
gw dan sudah termasuk dalam daftar tempat yang harus gw kunjungi sebelum
meninggalkan dunia ini. Makanya pas lewat Lombok dan melihat punggungannya dari
kejauhan, rasanya agak sayang kalau gak mampir sebentar. Tapi yasudahlah,
mungkin jodoh kita lain kali...
Hari itu perjalanan
bis dihabiskan untuk membelah Pulau Lombok dan sebagian Pulau Bali. Saat
menyebrang antara Pulau Lombok dan Pulau Bali, seperti biasa seluruh penumpang
turun dari bis dan pindah ke dek kapal ferry untuk bersantai dan beristirahat.
Pelayaran antara Pelabuhan Lembar dan Padang Bai memakan waktu 4-6 jam. Waktu
itu ombak lagi tinggi-tingginya. Seorang wanita yang yang kita temui di dek
kapal muntah dibuatnya. Saat dia pergi ke toilet, dia menitipkan anaknya kepada
kami. Dari situ, kita mulai kenalan dengan wanita ini yang ternyata mantan TKW
yg juga pernah ‘traveling’ sampai ke
Arab. Kali ini dia dalam perjalanan ke Palembang untuk mencari suaminya.
Mencari? Ya, sudah beberapa tahun ini wanita tersebut, bersama anak semata
wayangnya ditinggal pergi oleh suaminya entah kemana. Dan selama itu pula si
wanita ini (yang gw juga lupa namanya, duh) mencari informasi tentang suaminya
ini. Akhirnya usut boleh usut si suami sedang berada di rumah orang tuanya di
Palembang, maka si wanita malang ini mengumpulkan uang dan pergi kesana dari
Bima.
Sesampainya di
Pelabuhan Padang Bai, bis melanjutkan perjalanan. Bosan juga ternyata seharian
di bis meskipun ber-AC. Jadi kangen suasana di KM Awu beberapa minggu yang
lalu. Saat semua serba ‘baru’. Di Bali kita hanya numpang lewat saja. Sore
harinya bis sudah sampai di terminal Ubung Denpasar, artinya perjalanan kita
bersama bis Langusng Indah ini selesai sudah. Sebelum turun dari bis, si wanita
malang yang kita temui di kapal fery meminta sesuatu kepada gw. Dia ingin membeli
jaket yang gw pake karena dia kedinginan selama di bis dan dia lupa bawa jaket
dari Bima. Waduh, padahal jaket yang gw pake aja baru beli banget. Meskipun dia
rela mau beli dengan harga berapapun. Dengan ribuan maaf, dan sedikit berat
hati (namun pada akhirnya ikhlas), gw memberinya sepotong sweater hadiah ulang tahun yang diberikan Luca saat perpisahan. Sweater tersebut langsung dia pake.
Lagipula keliatannya dia memang kedinginan dan masuk angin, ditambah waktu di
kapal ferry sebelumnya dia sempet muntah. Pikiran jelek gw luntur sudah.
Mungkin sweater itu memang sudah
Tuhan siapkan untuk si wanita malang ini..Namun karena ilmu ikhlas gw masih
sangatlah dangkal, makanya gw dijadiin perantara agar supaya gw bisa belajar
dan mengasah ilmu ikhlas gw. Mungkin saja begitu...
Setelah
berterimakasih kita langsung berpisah dan entah akan bertemu lagi atau tidak
dengan si wanita malang tersebut. Di terminal Ubung, kita langsung menumpang
bis ke arah pelabuhan Gilimanuk. Target kita malam hari kita harus sudah sampai
di stasiun Banyuwangi supaya besok harinya kita bisa dapet kereta Sri Tanjung
tujuan Jogja. Makanya tanpa istirahat kita langsung sambung perjalanan.
Jam 10 malam
kira-kira kita sudah sampai di pelabuhan Gilimanuk. Entah kita lewat jalur mana
dari Terminal Ubung sampai Gilimanuk. Pasalnya kita semua tertidur pulas selama
perjalanan itu dan sama sekali tidak menikmati dan memperhatikan sekitar.
Untung saja tidak ada orang jahat yang men-‘jahat’-i kita.
Tanpa pikir panjang,
kami langsung melompat ke kapal ferry untuk menyebrang ke pelabuhan Banyuwangi.
Satu jam berikutnya, kita semua sudah nangkring di pelataran stasiun
Banyuwangi. Sebelum tidur, kita mengisi perut dulu di warung nasi sekitar
stasiun. Berbeda dengan pengalaman sebelumnya, malam itu kita gelar sleeping bed di pelataran stasiun untuk
istirahat dan menunggu besok pagi. Lumayan hemat biaya penginapan semalam J
Prihatin... ngemper di pinggir stasiun. Selamat malam! |
Senin, 7
Februari 2011
- - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - -
Konklusi
Pagi itu kita
dibangunkan oleh petugas kebersihan stasiun yang sedang membersihkan pelataran
stasiun dan aktifitas-aktifitas pedagang makanan yang sudah memulai berjualan
di pagi hari. Setelah sholat dan sarapan, kita langsung bergegas ke loket untuk
membeli tiket Sri Tanjung, si kawan lama. Jam 06.00 tepat Sri Tanjung
berangkat.
Tidak banyak
aktifitas selama perjalanan menuju Jogja di kereta ini. Kita hanya
berbincang-bincang dengan topik yang bermacam-macam. Sesekali mengenang
pahit-manisnya perjalanan 2 minggu ke belakang. Setiap pribadi dari kami pasti
memiliki pengalaman tersendiri dari perjalanan ini. Bagi gw, perjalanan ini
bukan sekedar liburan dan menghabiskan uang semata. Perjalanan ini bagi gw adalah
pelajaran yang sangat berarti. Orang-orang yang kita temui, kejadian yang kita
alami, kesalahan yang kita sesali, dan lain-lain. Semua adalah guru yang secara
tidak langsung mengajarkan gw hal-hal baru yang belum pernah gw pelajari. Dan
pada akhirnya, itu semua membuat gw bersyukur kepada Tuhan atas segala
kebesaran-Nya dan pemberian-Nya selama ini. Tidak ada alasan lagi untuk tidak
bersyukur, kawan...
Jam 9 malam , kita
sudah sampai di titik dimana perjalanan ini dimulai. Sekilas dari penampilan
kita semua tidak ada yang berubah. Namun, di dalamnya...siapa yang tahu?
Terima kasih kepada teman-teman
dan keluarga baru kami selama perjalanan. Luca, Samia, Mbak Selly, Elis dan
keluarga, Oma dan keluarga, Kang Hamdan dkk, Mas Ading Parfum, Pak Supir, Pak
Bandi dan Pak Kenek, Tukang Pijet, Si Wanita Malang, dan semua yang telah berbuat
baik kepada kami dan membawa cerita ini lebih berwarna. Hanya serangkaian doa
dari kami semua semoga kalian semua baik-baik saja dan semoga seluruh kebaikan
kalian senantiasa dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Di tempat yang sama, 2 minggu kemudian |
Kepada para pembaca
sekalian, terimakasih telah membaca cerita perjalanan ini yang memang berupa
cerita (syukur-syukur bisa menjadi panduan yang baik), dan yang telah sabar
menunggu kelanjutannya. Gw cuma mau menyampaikan sebuah pepatah lama dan
mungkin sudah biasa didengar dan dibaca oleh para pejalan, “It’s not about
the destination, but the journey”. Ini yang membedakan antara ceritamu dan
ceritaku, meskipun tujuan dan destinasi kita sama. Jangan pernah sombong, kawan!
Hanya karena sebuah destinasi yang populer atau memiliki prestige tinggi, namun dirimu pulang tanpa perubahan yang berarti.
Itu saja...
* * *
#Detail Transportasi :
Jogja - Surabaya (Kereta Sri Tanjung) : Rp. 24.000
Surabaya - Pelabuhan (taksi) : Rp. 9.000
Surabaya - Ende (KM Awu) : Rp. 350.000
Pelabuhan Ende - Rumah Mbak Selly (angkot) : 120.000 / 7 = Rp. 17.000
Sewa mobil 1 hari ke Kelimutu dll. : 300.000 / 7 = Rp. 43.000
Ende - Labuan Bajo (sewa mobil) : 1.400.000 / 7 = Rp. 200.000
Sewa perahu keliling Taman Nasional Komodo : 1.500.000 / 7 = Rp. 215.000
Labuan Bajo - Terminal Ubung Denpasar (Paket darat dan laut bus Langsung Indah) : Rp. 370.000
Denpasar - Pel. Gilimanuk (bis) : Rp. 25.000
Gilimanuk - Pel. Ketapang Banyuwangi (ferry) : Rp. 6.000
Banyuwangi - Jogja (Kereta Sri Tanjung) : Rp. 35.000
Sub Total : Rp. 1. 294. 000
#Akomodasi :
Penginapan di Labuan Bajo (1 feb) : Rp. 25.000
Guesthouse Nelayan di Labuan Bajo (2 feb & 4 feb) : 2 x 25.000 = Rp. 50.000
Sewa kamar untuk taruh barang : Rp. 5.000
Sub Total : Rp. 80. 000
#Makan :
25 Jan
Soto ayam : Rp. 7.000
Nasi Ayam Telor : Rp. 9.000
Nasi goreng : Rp. 8.000
26 Jan
Sarapan + makan siang : Rp. 8.000
Makan malam + Elis : Rp. 22.000
27 Jan
Makanan kapal : Gratis
28 Jan
Makanan kapal : Gratis
29 Jan
Makanan kapal : Gratis
Beli roti : RP. 5.000
Nasi Ayam : Rp. 12.000
30 Jan
-
31 Jan
-
1 Feb
Nasi Padang : Rp. 12.000
Makan Malam : Rp. 12.000
2 Feb
Makan 3 x 10.000 = Rp. 30.000
3 Feb - 4 Feb
Patungan makanan : Rp. 30.000 / orang
Makan malam : Rp. 10.000
5 Feb
Sarapan Rp. 7.000
Serice makan bis : Gratis
6 Feb
Sevice makan bis : Gratis
Makan sarapan : RP. 5.000
Makan malam : Rp. 7.000
7 Feb
Makan pagi dan sian : Rp. 10.000
Sub Total : Rp. 188. 000
#Lain - Lain :
Beli obat : Rp. 30.000
Pijet : Rp. 25.000
Parfum Ading : Rp. 10.000
Tiket masuk Kelimutu : Rp. 2.500
Beli Kain tenun : Rp. 40.000
Retribusi Taman Nasional Komodo : Rp. 27.500
Rokok : Rp. 10.000
Ranger / Pemandu : Rp. 14.000
Sub Total : Rp. 159.000
GRAND TOTAL : Rp. 1. 721. 000
Komentar
inilah Backpacker sejati bukan hanya tentang alam tapi tentang manusia yang ada di dalamnya
Semoga kalian dan orang2 yg kalian temui selama perjalanan itu selalu dalam lindungan-Nya.
Posting Komentar